Jumat, 04 Juni 2010

KEDUDUKAN dan FUNGSINYA HADITS

A. PENGERTIAN

1. Pengertian Hadits

Hadits atau al-hadits secara bahasa (etimologi) adalah al-Jadid yang artinya sesuatu yang baru-lawan dari al-qadim ( lama ) yang berarti menunjukkan kepada waktu yang dekat atau waktu yang singkat. [1] Hadits juga sering disebut dengan al-khabar, yang berarti berita, yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindhakan dari seseorang kepada orang lain, sama maknanya dengan hadits.[2]

Hadits dengan pengertian khabar sebagaimana tersebut diatas dapat dilihat pada beberapa ayat al-Qur’an, seperti QS. At-Thur (52) : 34, QS. Al-Kahfi (18) : 6 dan QS. Adh-Dhuha (93) : 11. Pada hadits juga dapat dilihat pada beberapa sabda Nabi SAW, diantaranya dari Zaid bin Tsabit riwayat Abu Daud, at-turmudzi, dan Ahmad, yang menjelaskan tentang doa Nabi SAW terhadap orang yang menghafal dan menyampaikan suatu hadits daripadanya.[3]

Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa khabar itu berbeda dengan hadits . Hadits adalah apa saja yang datang dari Nabi SAW, tetapi khabar adalah datang dari selain nabi. Atau khabar itu lebih umum dari pada hadits, yakni khabar itu bisa datang dari Nabi SAW dan selain Nabi. Sedang hadits adalah khusus apa yang datang dari Nabi SAW.[4]

Sedangkan menurut istilah ( terminologi ) para ahli memberikan definisi yang berbeda-beda sesuai dengan latar belakang disiplin ilmunya. Seperti pengertian hadits menurut ahli ushul akan berbeda dengan pengertian yang diberikan oleh ahli hadits .

Menurut ahli hadits , pengertian hadits ialah:

أقوال النبي صلى الله عليه وسلم وافعاله وأحواله.

“Segala perkataan Nabi SAW, perbuatan dan hal ihwalnya.” [5]

Maksud dari hal ikhwal adalah segala yang diriwayatkan dari Nabi SAW. yang berkaitan dengan himmah, karakteristik, sejarah kelahiran, dan kebiasaan-kebiasaannya.[6]

Ulama ahli hadits yang lain merumuskan dengan :

كل ما ا ثر عن النبي صلى الله عليه وسلم من قول وفعل وتقرير وصفة.

“Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW. baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifatnya.”[7]

Ada juga yang memberi pengertian yang lain :

ما أضيف إلى النبي صلى الله عليه وسلم من قول او فعل أو تقرير أو صفة. [8]

“Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW. Baik dari perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifat beliau.”

Yang sama dari ketiga pengertian diatas, ialah mendefinisikan hadits dengan segala yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik perkataan maupun perbuatan. Sedang yang berbeda dari ketiganya, ialah pada penyebutan terakhir. diantaranya ada yang menyebutkan hal ihwal atau sifat Nabi SAW sebagai hadits, dan ada yang tidak; ada yang menyebutkan taqrir Nabi SAW secara eksplisit sebagai bagian dari bentuk-bentuk hadits , dan ada yang memasukkanya secara implisit ke dalam aqwal atau af’al-nya.

Sementara para ahli ushul memberikan definisi hadits yang lebih terbatas dari rumusan diatas. yaitu :

اقوال النبي صلى الله عليه وسلم مما يصلح ان يكون دليلا لحكم شرعي. [9]

Berdasarkan pengertian hadits menurut ahli ushul ini jelas bahwa hadits adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW. baik ucapan, perbuatan maupun ketetapan yang berhubungan dengan hukum atau ketentuan-ketentuan Allah yang disyari’atkan kepada manusia. Selain itu tidak dikatakan hadits . Ini berarti bahwa ahli ushul membedakan diri Muhammad sebagai Rasul dan sebagai manusia biasa. Yang dikatakan hadits adalah sesuatu yang berkaitan dengan misi dan ajaran Allah yang diemban oleh Muhammad SAW. sebagai Rasulullah.

Inipun menurut mereka harus berupa ucapan dan perbuatan beliau serta ketetapan-ketetapannya. Sedangkan kebiasaan, tata cara berpakaian, berbicara, tidur dan sejenisnya merupakan kebiasaan manusia dan sifat kemanusiaan tidak dapat dikategorikan sebagai hadits . Dengan demikian, pengertian hadits menurut ahli ushul lebih sempit dibanding dengan pengertian hadits menurut ahli hadits .[10]

2. Kedudukan Hadits

Seluruh umat Islam, telah sepakat bahwa hadits merupakan salah satu sumber ajaran Islam. Ia menempati kedudukannya setelah al- Qur’an. Keharusan mengikuti hadits bagi umat Islam – baik berupa perintah maupun larangannya – sama halnya dengan kewajiban mengikuti al-Qur’an. Hal ini karena, hadits merupakan mubayyin terhadap al-Qur’an, yang karenanya siapapun tidak akan bisa memahami al-Qur’an tanpa memahami dan menguasai hadits . Begitu pula kita tidak akan memahami hadits tanpa al-Qur’an. Karena al- Qur’an merupakan dasar hukum pertama, yang didalamnya berisi garis besar syari’at. Dengan demikian, antara hadits dengan al-Qur’an memiliki kaitan sangat erat, yang untuk memahami dan mengamalkannya tidak bisa berjalan sendiri-sendiri.

Adapun kedudukan hadits sebagai sumber hukum ajaran Islam dapat dilihat dari beberapa dalil naqli (sumber yang menunjukkannya berdasarkan al-Qur’an dan Hadits) dan dalil ‘aqli (sumber yang menunjukkannya berdasarkan rasional), dibawah ini :

a. Dalil al-Qur’an

Banyak ayat al-Qur’an yang menerangkan tentang kewajiban untuk tetap teguh beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Selain Allah memerintahkan umat Islam agar percaya kepada Rasul SAW, juga menyerukan agar mentaati segala bentuk perundang-undangan dan peraturan yang dibawanya, baik berupa perintah maupun larangan. Tuntutan taat kepada Rasul SAW ini sama halnya tuntutan taat kepada Allah SWT. Ayat al-Qur’an yang berkenaan dengan masalah ini antara lain :

Firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 32 :

قل أطيع الله والرسول ج فان تولوا فإن الله لا يحب الكافرين

“Katakanlah! Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” [11]

Dalam surat an-Nisa’ ayat 59 Allah juga berfirman :

يأيها الذين أمنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول واولى الأمر منكمج فان تنازعتم فى شيئ فردوه الى الله والرسول اك كنتم تؤمنون باالله واليوم الأخر ط ذلك خير و احسن تأويلا.

“Hai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah, Rasul, dan Ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalilah kepada Allah dan Rasul, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya.” [12]

Selain ayat-ayat diatas, masih banyak lagi ayat-ayat yang sejenis yang menjelaskan soal ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, Seperti pada surat al-Hasyr ayat 7, surat al-Maidah ayat 92 dan an-Nur ayat 54.

Dari beberapa ayat al-Qur’an diatas dapat ditarik suatu pemahaman, bahwa ketaatan kepada Rasul SAW adalah mutlak, sebagaimana ketaatan kepada Allah. Begitu pula dengan ancaman atau peringatannya bagi yang durhaka;[13] Ancaman Allah SWT sering disejajarkan dengan ancaman karena durhaka kepada Rasul-Nya.

Ada banyak ayat juga yang memerintahkan mentaati Rasul-Nya secara terpisah. Seperti pada surat an-Nisa’ ayat 80 : bahwa manifestasi dari ketaatan kepada Allah, adalah dengan mentaati Rasul-Nya, firman-Nya :

من يطع الرسول فقد اطاع الله

“Barang siapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah….” [14]

Ungkapan-ungkapan pada beberapa ayat diatas, menunjukkan betapa pentingnya kedudukan hadits sebagai sumber ajaran Islam, yang dimanifestasikan dalam bentuk aqwal, af’al, dan taqrir Rasul SAW.

b. Dalil Hadits Rasul SAW

Banyak hadits yang menunjukkan perlunya ketaatan kepada Rasul SAW. Dalam salah satu pesannya, berkenaan dengan keharusan menjadikan hadits sebagai pedoman hidup disamping al-Qur’an, beliau bersabda :

تركت فيكم امرين لم تضلوا أبدا ما ان تمسكتم بهما كتاب الله وسنة رسوله (رواه الحاكم) [15]

“Aku tinggalkan dua pusaka pada kalian. Jika kalian berpegang pada keduanya, niscaya tidak akan tersesat, yaitu kitab Allah (al-Qur’an ) dan sunnah Rasul-Nya.” (H.R. al-Hakim dari Abu Hurairah).

Dalam salah satu taqrir Nabi SAW juga memberikan petunjuk kepada umat Islam, bahwa dalam menghadapi berbagai persoalan hukum dan kemasyarakatan, kedua sumber ajaran, yakni al-Qur’an dan hadits merupakan sumber asasi. Ini seperti terlihat pada dialog antara Nabi SAW dengan Mu’adz ibn Jabal menjelang keberangkatannya ke Yaman sebagai hakim. Seperti diceritakan oleh mu’adz, bahwa Nabi SAW bertanya kepadanya: “ Hai mu’adz, apa yang akan engkau lakukan bila dikemukakan kepadamu suatu perkara?”. “Aku akan memutuskannya dengan kitab Allah”, jawabku. “Bagaimana jika perkara itu tidak ada dalam kitab Allah?”. “Aku akan memutuskannya dengan Sunnah Rasul?”. “Kalau dalam sunnah / hadits Rasul juga tidak ditemukan petunjuk?”. “Aku akan berijtihad dengan penuh kesungguhan dan ketelitian”, jawabku. Setelah itu Rasulullah menepuk-menepuk dadaku sambil mengucapkan: “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada utusan Rasulullah untuk sesuatu yang diridhai oleh Rasulullah”, kata Mu’adz.[16]

c. Kesepakatan Ulama (ijma’)

Umat Islam, telah sepakat menjadikan hadits sebagai salah satu dasar hukum dalam beramal, kecuali mereka para penyimpang dan pembuat kebohongan. Penerimaan mereka terhadap hadits sama seperi penerimaan mereka terhadap al-Qur’an, karena keduanya sama-sama dijadikan sebagai sumber hukum Islam.

Kesepakatan umat Islam dalam mempercayai, menerima, dan mengamalkan segala ketentuan yang terkandung didalam hadits berlaku sepanjang zaman, sejak Nabi masih hidup dan sepeninggalnya, masa khulafa’ ar-rasyidin, tabi’in, tabi’u tabi’in, atba’u tabi’i tabi’in, serta masa-masa selanjutnya, dan tidak ada yang mengingkarinya sampai sekarang.[17] Banyak diantara mereka yang tidak hanya memahami dan mengamalkan isi kandungannya, akan tetapi mereka menghafal memelihara, dan menyebarluaskan kepada generasi-generasi selanjutnya, sehingga tidak ada satu hadits pun yang tercecer dari pemeliharaanya dan tidak ada satu hadits palsu pun yang dapat mengotorinya.

Banyak peristiwa menunjukkan adanya kesepakatan menggunakan hadits sebagai sumber hukum Islam, antara lain dapat diperhatikan pada peristiwa di bawah ini :

1. Ketika Abu Bakar di bai’at menjadi khalifah, ia pernah berkata “Saya tidak meninggalkan sedikitpun sesuatu yang diamalkan/dilaksanakan oleh Rasulullah sesungguhnya saya takut tersesat bila meninggalkan perintahnya[18].

2. Saat Umar berada di depan Hajar Aswad ia berkata: “Saya tahu bahwa engkau adalah batu. Seandainya saya tidak melihat Rasulullah menciummu, saya tidak akan menciummu.[19]

3. Pernah ditanyakan kepada ‘Abdullah bin Umar tentang ketentuan shalat safar dalam al-Qur’an. Ibnu Umar menjawab: “Allah SWT. telah mengutus Nabi Muhammad SAW. kepada kita dan kita tidak mengetahui sesuatu. Maka sesungguhnya kami berbuat sebagaimana duduknya Rasulullah SAW., saya makan sebagaimana makannya Rasulullah SAW dan saya shalat sebagaimana shalatnya Rasul”.[20]

4. Diceritakan dari Sa’id bin Musayyab bahwa “Usman bin ‘Affan berkata: “Saya duduk sebagaimana duduknya Rasulullah SAW., saya makan sebagaimana makannya Rasulullah, dan saya shalat sebagaimana shalatnya Rasul”.[21]

Masih banyak lagi contoh-contoh yang menunjukkan bahwa apa yang diperintahkan, dilakukan dan diserukan, niscaya diikuti oleh umatnya, dan apa yang dilarang selalu ditinggalkan oleh mereka.

d. Sesuai dengan petunjuk akal

Kerasulan Nabi Muhammad SAW. telah diakui dan dibenarkan oleh umat Islam. Di dalam mengemban misinya itu, kadang-kadang beliau hanya sekedar menyampaikan apa yang diterima dari Allah SWT., baik isi maupun formulasinya dan kadang kala atas inisiatif sendiri dengan bimbingan dari Tuhan. Namun juga tidak jarang beliau membawakan hasil ijtihad semata-mata mengenai suatu masalah yang tidak ditunjuk oleh wahyu dan juga tidak dibimbing oleh ilham. Hasil ijtihad beliau ini tetap berlaku sampai ada nash yang menasakhnya.[22]

Bila kerasulan Muhammad SAW. telah diakui dan dibenarkan, maka sudah selayaknya segala peraturan dan perundang-undangan serta inisiatif beliau, baik yang beliau ciptakan atas bimbingan ilham atau atas hasil ijtihad semata, ditempatkan sebagai sumber hukum dan pedoman hidup. Disamping itu secara logika kepercayaan kepada Muhammad SAW. sebagai Rasul mengharuskan umatnya mentaati dan mengamalkan segala ketentuan yang beliau sampaikan.

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa hadits merupakan salah satu sumber hukum dan sumber ajaran Islam yang menduduki urutan kedua setelah al-Qur’an. Sedangkan bila dilihat dari segi kehujjahannya, hadits melahirkan hukum zhanny,[23] kecuali hadits yang mutawatir.[24]

3. Fungsi Hadits terhadap Al-Qur’an

Al-Qur’an dan hadits sebagai pedoman hidup, sumber hukum dan ajaran dalam Islam, antara satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. al-Qur’an sebagai sumber pertama dan utama banyak memuat ajaran-ajaran yang bersifat global, yang perlu dijelaskan lebih lanjut dan terperinci. Oleh karena itulah kehadiran hadits, sebagai sumber ajaran kedua tampil untuk menjelaskan (bayan) keumuman isi al-Qur’an tersebut. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat An-Nahl ayat 44, yaitu :

وأنزلنا إليك الذكر لتبين للناس ما نزل إليهم ولعلهم يتفكرون

“……. Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur'an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang diturunkan kepada mereka dan supaya mereka berpikir.” [25]

Allah menurunkan al-Qur’an bagi umat manusia, agar al-Qur’an ini dapat difahami oleh manusia, maka Nabi SAW. diperintahkan untuk menjelaskan kandungan dan cara-cara melaksanakan ajarannya kepada mereka melalui hadits -hadits nya.

Oleh karena itu, fungsi hadits sebagai penjelas terhadap al-Qur’an itu bermacam-macam. Malik bin Anas menyebutkan lima macam fungsi, yaitu bayan at-taqrir, bayan at-tafsir, bayan at-tafshil, bayan al-basth, bayan at-tasyri’.as-Syafi’i menyebutkan lima fungsi, yaitu bayan at-tafshil, bayan at-takhshish, bayan at-ta’yin, bayan at-tasyri’ dan bayan an-nasakh. Dalam “ar-Risalah” ia menambahkan dengan bayan al-isyarah. Imam Ahmad bin Hanbal menyebutkan empat fungsi, yaitu bayan al-ta’kid, bayan al-tafsir, bayan al-tasyri, dan bayan al-takhsish.[26]

1. Bayan at-Taqrir

Bayan al-taqrir disebut juga dengan bayan al-ta’kid dan bayan al-itsbat. Yang dimaksud dengan bayan ini, ialah menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan di dalam al-Qur’an. Fungsi hadits dalam hal ini hanya memperkokoh isi kandungan al-Qur’an. Suatu contohnya adalah, hadits yang diriwayatkan muslim dari Ibnu Umar, yang berbunyi:

فإذا رأيتم الهلال فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا [27]

“Apabila kalian melihat (ru’yah) bulan, maka berpuasalah, juga apabila melihat (ru’yah) itu maka berbukalah”.

Hadits ini datang men-taqrir ayat al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 185 yang berbunyi:

فمن شهد منكم الشهر فليصمه [28]

“Maka barang siapa yang mempersaksikan pada waktu itu bulan, hendaklah ia berpuasa….

Contoh lain, surat al-Ma’idah ayat 6 tentang keharusan berwudhu’ sebelum shalat, yang berbunyi:

يأيها الذين أمنوا إذا قمتم الى الصلوة فاغسلوا وجوهكم وأيديكم الى المرافق وامسحوا برؤسكم وأرجلكم الى الكعبين

“ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah muka dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai kedua mata kaki….”[29]

Ayat diatas di-taqrir oleh hadits riwayat al-Bukhari dari Abu Hurairah, yang berbunyi:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لا تقبل صلاة من احدث حتى يتوضأ [30]

“Rasul SAW. telah bersabda: tidak diterima sholat seseorang yang berhadas sebelum dia berwudlu.”

Menurut sebagian ulama, bahwa bayan taqrir atau bayan ta’kid ini disebut juga dengan bayan al-muwafiq li-nash al-Kitab al-Karim. Hal ini dikarenakan munculnya hadits-hadits itu sesuai dan untuk memperkokoh nash al-Qur’an.[31]

2. Bayan al-Tafsir

Yang dimaksud dengan bayan al-tafsir, adalah bahwa hadits berfungsi untuk memberikan rincian dan penjelasan terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih bersifat global (mujmal), mamberikan persyaratan/batasan (taqyid) ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat mutlaq, dan mengkhususkan (takhsis) terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih bersifat umum. Di antara contoh tentang ayat-ayat al-Qur’an yang masih mujmal adalah perintah mengerjakan sholat, puasa, zakat, disyari’atkannya jual beli, nikah, qishas, hudud dan sebagainya. Ayat-ayat al-Qur’an tentang masalah ini masih bersifat mujmal, baik mengenai cara mengerjakan, sebab-sebabnya, syarat-syarat atau halangan-halangannya. Oleh karena itulah Nabi SAW. melalui hadits nya menafsirkan dan menjelaskan masalah-masalah tersebut. Sebagai contoh dibawah ini akan dikemukakan beberapa hadits yang berfungsi sebagai bayan al-tafsir: [32]

a. Memerinci ayat-ayat yang Mujmal

Mujmal artinya: ringkas atau singkat. Dari ungkapan yang singkat terkandung banyak makna yang perlu dijelaskan. Hal ini kerena, belum jelas makna mana yang dimaksudkannya, kecuali setelah adanya penjelasan atau perincian. Dengan kata lain, ungkapan masih bersifat global yang memerlukan mubayyin.[33]

Contoh sabda Nabi SAW tentang cara mengerjakan sholat:

صلوا كما رأيتمونى أصلى [34]

“Shalatlah sebagaimana engkau melihat aku shalat”.

Hadits ini menjelaskan bagaimana mendirikan shalat. Sebab dalam al-Qur’an tidak menjelaskan secara rinci. Salah satu ayat yang memerintahkan shalat adalah ayat 43 dalam surat al-Baqarah yang berbunyi:

وأقيموا الصلوة وأتوا الزكاة واركعوا مع الراكعين.

"Dan kerjakanlah shalat, tunaikan zakat, dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’. [35]

b. Men-taqyid ayat- ayat yang mutlaq

Mutlaq artinya: kata yang menunujuk pada hakikat kata itu sendiri apa adanya tanpa memandang kepada jumlah maupun sifatnya. Men-taqyid yang mutlaq, artinya membatasi ayat-ayat yang mutlaq dengan sifat, keadaan, atau syarat-syarat tertentu.[36]

Sedangkan contoh hadits yang membatasi (taqyid) ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat mutlak, antara lain seperti sabda Nabi SAW:

لا تقطع يد السارق الا فى ربع دينار فصاعدا [37]

“Tangan pencuri tidak boleh dipotong, melainkan pada (pencurian senilai) seperempat dinar atau lebih.”

Hadits diatas digunakan mentaqyid ayat al-Qur’an surat al-Maidah ayat 38 yang berbunyi:

السارق و السارقة فاقطوا أيديهما جزاء بما كسبا نكالا من الله و الله عزيز حكيم.

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah kedua tangannya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah dan Allah maha mulia dan maha bijaksana” [38]

c. Men-takshish ayat yang ‘Am

‘Am ialah : kata yang menunjuk atau memiliki makna dalam jumlah yang banyak. Sedang kata takhshish atau khas, ialah kata yang menunjuk arti khusus, tertentu, atau tunggal. Yang dimaksud mentakhshish yang ‘am disini ialah membatasi keumuman ayat al-qur’an sehingga tidak berlaku pada bagian-bagian tertentu.

Contoh hadits yang berfungsi untuk mentakhshish keumuman ayat-ayat al-Qur'an, ialah sabda Nabi SAW. Yang berbunyi :

لا يرث القاتل من الممقتول شيئا [39]

“ Pembunuh tidak berhak menerima harta warisan.”

Hadits tersebut mentakhshish keumuman firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 11 yang berbunyi:

يوصكم الله فى أولادكم للذكر مثل حظ الأنثيين

“Allah mensyari’atkan bagimu tentang ( pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan.” [40]

3. Bayan at-Tasyri’

Kata at-tasyri’ artinya ialah, pembuatan, mewujudkan, atau menetapkan aturan atau hukum. Maka yang dimaksud dengan bayan at-tasyri’ disini, ialah penjelasan hadits yang berupa mewujudkan, mengadakan, atau menetapkan suatu hukum, atau aturan-aturan syara’ yang tidak didapati nashnya dalam al-Qur’an. Hadits Nabi SAW. dalam segala bentuknya (baik yang qauli, fi’li maupun taqriri) berusaha menunjukkan suatu kepastian hukum terhadap berbagai persoalan yang muncul, yang tidak terdapat dalam al-Qur’an. Ia berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh para sahabat atau yang tidak diketahuinya, dengan menunjukkan bimbingan dan menjelaskan duduk persoalannya.

Banyak hadits Nabi SAW. yang termasuk ke dalam kelompok ini diantaranya, hadits tentang penetapan haramnya mengumpulkan dua wanita bersaudara (antara isteri dengan bibinya), hukum syuf’ah, hukum merajam pezina yang masih perawan, hukum membasuh bagian atas sepatu dalam berwudlu, hukum tentang ukuran zakat fitrah, dan hukum tentang hak waris bagi seorang anak. [41]

Suatu contoh, hadits tentang zakat fitrah, sebagai berikut:

إن رسول الله صلى الله عليه وسلم فرض زكاة الفطر من رمضان على الناس صاعا من تمر أو صاعا من شعير على كل حر أو عبد ذكر أو أنثى من المسلمين [42]

“Bahwasannya Rasul SAW. telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat Islam pada bulan Ramadhan satu sukat (sha’) kurma atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuan muslim.”

Hadits Nabi SAW yang termasuk bayan at-tasyri’, wajib diamalkan, sebagaimana kewajiban mengamalkan hadits-hadits lainnya. Ibnu al-Qayyim berkata, bahwa hadits-hadits Nabi SAW. yang berupa tambahan terhadap al-Qur’an, merupakan kewajiban atau aturan yang harus ditaati, tidak boleh menolak atau mengingkarinya, dan ini bukanlah sikap (Nabi SAW) mendahului al-Qur’an melainkan semata-mata karena perintah Nya.[43]

4. Bayan an-Nasakh

Kata an-nasakh secara bahasa, mempunyai banyak arti. Bisa berarti al-Ibthal (membatalkan/menghapuskan), atau al-izalah (menghilangkan), atau an-naql (penukilan/penyalinan), atau at-taghyir (mengubah).[44] Para ulama mengartikan bayan an-nasakh ini banyak yang melalui pendekatan bahasa, sehingga diantara mereka terjadi perbedaan pendapat dalam menta’rifkannya. Termasuk perbedaan pendapat antara ulama mutaakhirin dengan ulama mutaqaddimin. Menurut pendapat yang dapat dipegang dari ulama mutaqaddimin, bahwa terjadinya nasakh ini karena ada dalil syara’ yang mengubah suatu hukum (ketentuan) meskipun jelas, karena telah berakhir masa keberlakuannya serta tidak bisa diamalkan lagi, dan Syari’ (pembuat syari’at) menurunkan ayat tersebut tidak diberlakukan untuk selama-lamanya (temporal).[45]

Intinya ketentuan yang datang kemudian tersebut menghapus ketentuan yang datang terdahulu, karena yang terakhir dipandang lebih luas. Hadits sebagai ketentuan yang datang kemudian daripada al-Qur’an dalam hal ini dapat menghapus ketentuan atau isi kandungan al-Qur’an. Demikian menurut pendapat ulama yang menganggap adanya fungsi bayan an-nasakh.[46]

Diantara para ulama yang membolehkan adanya nasakh hadits terhadap al-Qur’an juga berbeda pendapat dalam macam hadits yang dapat dipakai untuk me-nasakh –nya. dalam hal ini mereka terbagi menjadi tiga kelompok: [47]

a. Kelompok yang membolehkan menasakh al-Qur’an dengan segala hadits , meskipun dengan hadits ahad. Pendapat ini dikemukakan oleh para ulama mutaqaddimin dan ibn hazm serta sebagian pengikut zhahiriah.

b. Kelompok yang membolehkan menasakh dengan syarat, bahwa hadits tersebut harus mutawatir. Pendapat kaum Mu’tazilah.

c. Ulama yang membolehkan menasakh dengan hadits masyhur, tanpa dengan hadits mutawatir. Diantara ulama yang memegang pendapat ini adalah ulama Hanafiah.

Salah satu contoh, ialah sabda Nabi SAW.riwayat al-Bukhari dari Abbas, bahwa suatu ketika Nabi SAW bersabda:

كان المال للولد وكانت الوصية للوالدين ونسخ الله من ذلك ما أحب, فجعل للذكر مثل حظ أنثيين وجعل للوالدين لكل واحد منهما السدس. [48]

Hadits ini me-nasakh isi al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 180, yang berbunyi:

كتب عليكم إذا حضر أحدكم الموت إن ترك خيرا الوصية للوالدين والأقربين بالمعروف حقا على المتقين.

“Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf ini adalah kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa.” [49]

Kewajiban melakukan wasiat kepada kaum kerabat dekat berdasarkan surat al-Baqarah ayat 180 di atas, di-nasakh hukumnya oleh hadits yang menjelaskan, bahwa kepada ahli waris tidak boleh dilakukan wasiat.

Sementara yang menolak naskh jenis ini adalah as-Syafi’i dan sebagian besar pengikutnya, meskipun naskh tersebut dengan hadits yang mutawatir. Kelompok lain yang menolak adalah sebagian besar pengikut madzhab Zhahiriyah dan kelompok Khawarij.[50]

B. PEMBAGIAN HADITS

1. Pembagian Hadits dari segi kuantitas-nya

Tentang pembagian hadits ditinjau dari segi kuantitas nya ini para ulama berbeda pendapat. Tinjauan secara kuantitas disini adalah dengan menelusuri jumlah perawi yang menjadi sumber adanya suatu hadits . Para ahli ada yang mengelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu hadits mutawatir, masyhur, dan ahad ini dianut oleh sebagian ulama ushul; dan ada juga yang membaginya menjadi dua, yaitu hadits mutawatir dan ahad yang diikuti oleh kebanyakan ulama ushul dan ulama kalam. Menurut mereka, hadits masyhur bukan merupakan hadits yang berdiri sendiri, tetapi hanya bagian dari hadits ahad.

a. Hadits Mutawatir

1. Pengertian Hadits mutawatir

Mutawatir menurut bahasa, berarti mutatabi’ yaitu yang (datang) berturut-turut,dengan tidak ada jaraknya.[51]

Sedangkan pengertian hadits mutawatir menurut istilah, terdapat beberapa definisi, antara lain:

ما رواه جمع عن مثلهم من أول السند الى منتهاه [52]

“Hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang, yang menurut adat mustahil mereka bersepakat untuk berdusta. (Jumlah banyak itu) sejak awal sanad sampai akhirnya”.

Menurut definisi lain disebutkan, sebagai berikut:

ما رواه عدد كثير تصيل العادة توا طئوهم على الكذب .[53]

“Hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang, yang menurut adat mustahil mereka bersepakat untuk berdusta”.

Berdasarkan beberapa definisi diatas diketahui, adanya empat hal yang harus dipenuhi pada hadits yang dikategorikan mutawatir, dan ini merupakan syarat-syarat hadits mutawatir. Pertama, hadits itu harus diriwayatkan oleh banyak orang; kedua, hadits itu diterima dari banyak orang pula; ketiga, ukuran banyak disini jumlahnya relatif, dengan ukuran sudut pandang kebiasaan masyarakat, bahwa mereka tidak mungkin sebelumnya melakukan kesepakatan untuk berdusta; dan keempat, hadits itu diperoleh melalui pengamatan panca indra, bukan atas dasar penafsiran mereka.[54]

(1) Pembagian Hadits Mutawatir

Hadits mutawatir terbagi kepada dua bagian, yaitu Mutawatir lafzhi dan Mutawatir ma’nawi. Namun ada diantara para ulama yang membaginya kepada tiga bagian yaitu ditambah dengan Mutawatir ‘Amali.

(a) Mutawatir Lafzhi

Yang dimaksud dengan hadits mutawatir lafzhi,ialah

ما تواتر لفظه ومعناه [55]

“Hadits yang mutawatir lafazh dan maknanya.”

Berat dan ketatnya kriteria hadits mutawatir lafzhi seperti diatas, menjadikan jumlah hadits ini sangat sedikit. Menurut Ibnu Hibban dan al-Hazimi, bahwa hadits dengan ta,rif ini tidak diperoleh. Ibn al-Shalah yang diikuti oleh Al-Nawawi menetapkan, bahwa hadits mutawatir lafzhi sedikit sekali, sukar dikemukakan contohnya, selain hadits :

من كذب علي متعمدا فليتبواء مقعده من النار [56]

“Barang siapa berbuat dusta terhadap diriku, hendaklah ia menempati neraka”.

Menurut Ibnu al-Shalah, hadits ini diriwayatkan oleh enam puluh dua sahabat, termasuk sepuluh sahabat yang telah diakui akan masuk surga.[57]

(b) Mutawatir Ma’nawi

Yang dimaksud dengan hadits mutawatir ma’nawi adalah:

ما تواتر معناه دون لفظه [58]

“Hadits yang maknanya mutawatir, tetapi lafaznya tidak.”

Contoh hadits mutawatir ma’nawi, antara lain adalah hadits yang meriwayatkan bahwa Nabi SAW. mengangkat tangannya ketika berdo’a.

قال أبو موسى الأشعري دعا النبي صلى الله عليه وسلم ثم رفع يديه ورأيت بياض إبطيه [59]

“Abu Musa al-Asy’ari berkata: Nabi SAW. berdoa kemudian dia mengangkat kedua tangannya dan aku melihat putih-putih kedua ketiaknya”.

Hadits semacam ini diriwayatkan dari Nabi SAW. berjumlah sekitar seratus hadits dengan redaksi yang berbeda-beda, tetapi mempunyai titik persamaan, yakni keadaan Nabi SAW. mengangkat tangan saat berdo’a.

b. Hadits ahad

Pengertian hadits ahad, atau wahid berarti satu.[60] Maka khabar wahid adalah suatu berita yang disampaikan oleh satu orang.

Sedang menurut istilah, hadits ahad adalah:

مالم تبلغ نقلته فى الكثرة مبلغ الخبر المتواتر سواء كان المخبر واحدا أو إثنين أو ثلاثا أو أربعة أو خمسة او الى غير ذلك من الاعداد التى لا تشجر بأن الخبر دخل بها فى خبر المتواتر.

“Khabar yang jumlah perawinya tidak mencapai batasan jumlah perawi hadits mutawatir, baik perawi itu satu, dua, tiga, empat, lima, dan seterusnya yang tidak memberikan pengertian bahwa jumlah perawi tersebut tidak sampai kepada jumlah perawi hadits mutawatir”. [61]

(1) Pembagian Hadits Ahad

Hadits ahad dibagi menjadi tiga, yaitu hadits masyhur, hadits ‘aziz, dan hadits gharib.

(a) Hadits masyhur

Menurut bahasa adalah ذائع االصيت : sesuatu yang sudah tersebar/masyhur dan popular[62]. Sedangkan menurut istilah ulama ushul adalah:

ما رواه من الصحابة عدد لا يبلغ حد التواتر ثم تواتر بعد الصحابة ومن بعدهم [63]

“Hadits yang diriwatyatkan dari sahabat, tetapi bilangannya tidak sampai ukuran bilang mutawatir, kemudian baru mutawatir setelah sahabat dan demikian pula setelah mereka.”

Contoh Hadits masyhur:

إذا جاء أحدكم الجمعة فليغتسل [64]

“Bagi siapa yang hendak melaksanakan shalat jum’at, hendaknya ia mandi”.

Dari sudut kualitasnya, hadits masyhur ada yang shahih, hasan, dan ada yang dha’if. Sebagaimana layaknya hadits ahad, hadits masyhur yang shahih dapat dijadikan hujjah. Sebaliknya hadits masyhur yang dha’if tidak dapat dijadikan hujjah.[65]

(b) Hadits ‘Aziz

Hadits ‘aziz dari sudut pendekatan kebahasaan, bisa berarti hadits yang mulia, hadits yang kuat, atau hadits yang sedikit, atau yang jarang terjadi.[66] Sedangkan secara Istilah hadits ‘aziz adalah:

ما لا يرويه اقل من إثنين عن إثنين [67]

“Hadits yang diriwayatkan oleh sedikitnya dua orang perawi, diterima dari dua orang pula.”

Contoh Hadits ‘Aziz:

لا يؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من والده وولده والناس أجمعين [68]

“Tidaklah beriman seseorang diantara kamu, hngga aku lebih dicintai daripada dirinya, orang tuanya, anaknya, dan semua manusia”. (H.R. Bukhari-Muslim)

(c) Hadits Gharib

Hadits gharib menurut bahasa adalah المنفرد (menyendiri) atau البعيد عن أقاربه (jauh dari kerabatnya).

Definisi hadits gharib menurut Ibnu hajar adalah :

ما تفرد بروايته شخص واحد فى أي موضع وقع التفرد به السند. [69]

“Hadits yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkannya, dimana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi”.

Dilihat dari bentuk penyendirian perawi dalam periwayatannya dan dilihat dari kaitannya antara penyendirian pada sanad dan pada matan. Dilihat dari bentuk penyendirian perawinya, hadits gharib dibagi menjadi dua bagian yaitu gharib mutlaq[70] dan gharib nisbi.[71] Kemudian, dilihat dari kaitannya antara penyendirian pada sanad dan matan terbagi menjadi dua bagian pula, yaitu gharib pada sanad dan matan secara bersama-sama[72], dan gharib pada sanad saja.[73]

2. Pembagian Hadits dari segi kualitas-nya

Kualitas, artinya mutu, nilai, tingkat, atau kadar sesuatu. [74] Maka kualitas hadits , artinya mutu suatu hadits , atau tingkat, serta nilai yang disandang oleh suatu hadits . Yang dimaksud adalah apakah suatu hadits itu dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan suatu kepastian ajaran agama atau tidak.

Adapun hadits-hadits yang menjadi objek penelitian para ulama adalah hadits-hadits yang dari sudut kuantitasnya termasuk kedalam kategori ahad, bukan yang mutawatir. Sebab yang mutawatir, sebagaimana telah dibicarakan, sudah mencapai Ilmu Dharuri [75] , yang tidak memerlukan penelitian.

Pada garis besarnya, hadits-hadits ahad ditinjau dari segi kualitasnya dibagi menjadi dua, yaitu: hadits maqbul dan hadits mardud.

a. Hadits Maqbul

Maqbul menurut bahasa berarti ma’khudz (yang diambil) dan mushaddaq (yang dibenarkan atau diterima). Sedangkan menurut istilah adalah:

ما توافرت فيه جميع شروط أو بعضها [76]

“Hadits yang telah sempurna padanya, syarat-syarat penerimaan”.

Syarat-syarat penerimaan suatu hadits menjadi maqbul berkaitan dengan sanadnya, yaitu sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh rawi yang adil lagi dhabit, dan juga berkaitan dengan matannya tidak saydz dan tidak ber’illat.

Hadits maqbul ada yang ma’mulun bih yakni hadits yang bisa diamalkan dan ada yang ghair ma’mulin bih yakni hadits yang tidak bisa diamalkan. Yang ma’mulun bih adalah:1.hadits muhkam, yakni hadits yang telah memberikan pengertian jelas; 2. mukhtalif, yakni hadits yang dapat dikompromikan dari dua buah hadits atau lebih, yang secara lahiriyah mengandung pengertian bertentangan; 3. rajih, yakni hadits yang lebih kuat, dan; 4. hadits nasikh, yakni hadits yang menasakh terhadap hadits , yang datang terlebih dahulu. Sedangkan yang ghair ma’mulin bih adalah hadits 1. marjuh, yakni hadits yang kehujjahannya dikalahkan oleh hadits yang lebih kuat; 2. mansukh, yakni hadits yang telah dinasakh (dihapus), dan; 3. hadits mutawaqquf fih, yakni hadits yang kehujjahannya ditunda, karena terjadinya pertentangan antara satu hadits boleh dengan lainnya yang belum bisa diselesaikan.[77]

Maka untuk selanjutnya hadits maqbul dapat digolongkan menjadi dua, yaitu hadits shahih dan hasan.

b. Hadits Mardud

Mardud menurut bahasa berarti “yang ditolak” atau yang “tidak diterima”.[78] Sedangkan mardud menurut istilah ialah:

فقد تلك الشروط أو بعضها [79]

“Hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat atau sebagian syarat Hadits maqbul”.

Tidak terpenuhinya persyaratan yang dimaksud, bisa terjadi pada sanad dan matan. Para ulama mengelompokkan hadits jenis ini menjadi dua yaitu hadits dha’if dan hadits maudhu’.[80] Pada akhirnya, pembagian hadits dilihat dari diterima-tidaknya dibagi menjadi tiga, yaitu: hadits shahih, hasan dan dha’if.

Pembagian hadits kedalam tiga kelompok tersebut belum dikenal pada abad pertengahan ketiga hijriyah (yakni masa kehidupan para imam empat madzhab; Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Ahmad). Karena pembagian ini muncul pada masa sesudahnya. Imam Ahmad ibn Hanbal hanya membagi hadits atas dua bagian yaitu hadits shahih yang diterima (maqbul) dan hadits dha’if yang ditolak (mardud).[81]

Menurut Ibn Taimiyah, ulama yang membagi hadits menjadi tiga bagian ini mulai diperkenalkan oleh Abu Isa al-Tirmizi, karena ia banyak meriwayatkan hadits dan memeberikan keterangan periwayatan dengan kata-misalnya –hadits shahih hasan gharib.[82]

(a) Hadits shahih

Shahih menurut bahasa adalah السليم (yang sehat) lawan dari kata السقيم (sakit).[83] Kata shahih juga menjadi kosa kata bahasa Indonesia dengan arti”ah; benar, sempurna sehat (tiada segalanya ); pasti.[84]

Ajjaj al-Khathib memberi pengertian hadits shahih, yang merupakan ramuan dari pengertian-pengertian yang diajukan para ulama ahli hadits yang hidup pada masa sebelumnya menjadi:

ما اتصل سنده برواية الثقة عن الثقة من اوله الى منتهاه من غير شذوذ ولا علة [85]

“Yaitu yang bersambung sanadnya dengan riwayat yang dapat dipercaya dari yang bisa dipercaya dari awal sanad hingga akhir sanad dengan tanpa ada cela dan cacatnya”.

Melihat definisi hadits shahih diatas, maka dapat dinyatakan bahwa syarat-syarat hadits shahih adalah:

1. Sanadnya harus bersambung, yaitu bahwa tiap-tiap perawinya dalam sanad hadits menerima riwayat hadits dari perawi terdekat sebelumnya. Keadaan itu berlangsung demikian sampai akhir sanad dari hadits itu.[86]

2. Perawinya adil, yaitu senantiasa melaksanakan segala perintah agama dan meninggalkan semua larangannya; senantiasa menjauhi perbuatan-perbuatan dosa kecil; dan senantiasa memelihara ucapan dan perbuatan yang dapat menodai muru’ah, yakni sikap kehati-hatian dari melakukan perbuatan yang sia-sia atau perbuatan dosa.[87]

3. Perawinya dhabit, yaitu mereka yang kuat hafalannya terhadap apa yang pernah didengarnya, kemudian mampu menyampaikan hafalan tersebut kapan saja manakala diperlukan. Yang dicakup oleh pengertian dhabit dalam periwayatannya disini ada dua kategori, yaitu dhabit fi al-shadr[88] dan dhabit fi al-kitab. [89]

4. Tidak syadz (janggal), yaitu hadits yang matannya tidak bertentangan dengan hadits lain yang lebih kuat atau lebih tsiqah.

5. Tidak ber’illat, yaitu hadits-hadits yang didalamnya tidak terdapat kesamaran atau keragu-raguan. Illat hadits , dapat terjadi baik pada sanad maupun pada matan atau pada keduanya secara bersama-sama. Namun demikian, illat yang paling banyak, terjadi pada sanad, seperti menyebutkan muttashil terhadap hadits yang munqathi’ atau mursal (terputus sanadnya).

Kemudian para ulama membagi hadits shahih ini menjadi dua macam, yaitu:

(1) Shahih li dzatihi, yaitu hadits-hadits yang memenuhi syarat-syarat atau sifat-sifat hadits maqbul secara sempurna. Contoh:

عن محمد بن جبير بن مطعم عن أبيه قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم قرأ فى المغرب بالطور. [90]

Dari Muhammad ibn Jubair ibn Muth’im dari ayahnya dia berkata saya mendengar Rasulullah SAW membaca surat at-Thur pada waktu Maghrib".

(2) Shahih li ghairihi, yaitu hadits yang tidak memenuhi secara sempurna syarat-syarat tertinggi dari sifat sebuah hadits maqbul.

Hal itu bisa terjadi karena ada beberapa hal, misalnya perawinya sudah diketahui adil tapi dari sisi ke-dhabit-an-nya, ia dinilai kurang. Hadits ini menjadi shahih karena ada hadits lain yang sama atau sepadan (redaksinya) diriwayatkan melalui jalur lain yang setingkat atau malah lebih shahih.Contoh:

لو لا أن أشق على أمتى أو على الناس لأمرتهم باالسواك مع كل صلاة [91]

“Andaikan tidak memberatkan pada umatku, niscaya akan kuperintahkan bersiwak pada setiap kali hendak melaksanakan shalat”. (H.R. Bukhari)

Jadi perbedaan antara kedua bagian hadits ini terletak pada segi ke-dhabit-an perawinya. Pada shahih li dzatih ingatan perawinya sempurna, sedang pada hadits shahih li ghairih ingatan perawinya kurang sempurna.

Kemudian para ulama ahli hadits dan sebagian ulama ahli ushul serta ahli fiqh sepakat menjadikan hadits shahih sebagai hujjah yang wajib beramal dengannya. Kesepakatan ini terjadi dalam soal-soal yang berkaitan dengan penetapan halal atau haramnya sesuatu, tidak dalam hal-hal yang berhubungan dengan aqidah (keyakinan).

Sebagian besar ulama menetapkan dengan dalil qath’i, yaitu al-Qur’an dan hadits mutawatir untuk menetapkan hal-hal yang berkaitan dengan akidah dan tidak dengan hadits ahad. Sebagian ulama lainnya dan Ibnu Hazm al-Dhahiri menetapkan bahwa hadits shahih memberi faidah ilmu qath’i dan wajib diyakini. Degan demikian hadits shahih dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan suatu aqidah.[92]

(b) Hadits hasan

Pengertian hadits hasan menurut bahasa berarti ما تشتهيه النفس وتميل اليه (Sesuatu yang disenangi dan dicondongi oleh nafsu)[93]

Sedangkan menurut istilah adalah:

ما اتصل سنده بعدل خف ضبطه من غير شذوذ ولا علة.

“Hadits yang muttashil sanadnya yang diriwayatkan oleh perawi yang adil yang lebih rendah kadhbitannya tanpa syadz dan tanpa ‘illat”. [94]

Kemudian para ulama ahli hadits membagi hadits hasan menjadi dua bagian, yaitu: a) Hasan li dzatihi, pengertiannya sebagaimana disebutkan diatas; b) Hasan li ghairihi, yaitu: hadits yang didalamnya terdapat perawi ”mastur” yang belum tegas kualitasnya. Dengan demikian, hadits hasan li ghairihi mulanya merupakan hadits dha’if, yang tidak terlalu lemah yang naik kedudukannya menjadi hasan karena ada penguat. Penguat itu bisa karena perawinya yang dikenal sebagai orang yang tidak banyak berbuat kesalahan atau dosa. Dan periwayatan hadits tersebut banyak riwayat, baik dengan redaksi yang serupa (mitslahu) maupun mirip (nahwahu).

Hadits hasan dengan kedua jenisnya dapat dijadikan hujjah dan diamalkan sebagimana hadits shahih tetapi kekuatannya dibawah hadits shahih.

(c) Hadits dha’if

Definisi hadits dha’if menurut bahasa, berarti Hadits yang lemah atau Hadits yang tidak kuat.[95] Sedangkan menurut istilah mayoritas ulama, hadits dha’if adalah: hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat shahih ataupun syarat-syarat hasan.[96]

Sebab-sebab hadits dha’if (mardud) bisa dilihat dari dua jurusan, yaitu:

1. Sanad hadits

Dari sisi sanad hadits ini diperinci kedalam dua bagian:

a. Ada kecacatan pada perawinya, misalnya: dusta. Hadits yang rawinya dusta disebut maudhu’; tertuduh dusta, hadits yang rawinya tertuduh dusta disebut matruk; fasiq; banyak salah; lengah dalam menghafal, hadits nya disebut munkar; banyak wahamnya (sangka; persangkaan; syak; curiga) , hadits nya disebut mu’allal; menyalahi riwayat yang lebih tsiqah atau dipercaya, hadits nya disebut mudraj bila ada penambahan suatu sisipan; disebut maqlub bila diputar balikkan; disebut mudhtharib bila rawinya yang tertukar-tukar; disebut muharraf bila yang tertukar adalah huruf-syakal; dan disebut mushahhaf bila perubahan itu meliputi titik kata; tidak diketahui identitasnya, hadits nya disebut mubham; penganut bid’ah; tidak baik hafalannya, hadits nya disebut hadits syadz dan mukhtalith.[97]

b. Sanadnya tidak bersambung, diantaranya: gugur pada sanad pertama, hadits nya disebut hadits mu’allaq; gugur pada sanad terakhir (sahabat). hadits nya disebut hadits mursal; gugur dua orang atau lebih secara berurutan, hadits nya disebut hadits mu’dhal; rawinya digugurkan tidak berturut-turut, hadits nya disebut hadits munqathi’.[98]

2. Matan Hadits

a. Hadits mauquf adalah: Berita yang hanya disandarkan sampai kepada sahabat saja, baik yang disandarkan itu perkataan atau perbuatan dan baik sanadnya bersambung maupun terputus.[99]

b. Hadits Maqthu’ adalah: perkataan atau perbuatan yang berasal dari seorang tabi’i serta dimauqufkan padanya, baik sanadnya bersambung, maupun tidak.[100]

C. HADITS MURSAL

1. Definisi Hadits mursal

Secara bahasa adalah; isim maf’ul dari أَرْسَلَ dengan arti أَطْلَقَ .[101] Maka orang yang mendatangkan hadits mursal adalah memutlakkan isnad dan tidak membatasi pada rawi yang ditentukan.[102] Secara umum irsal adalah riwayatnya seorang perawi dari orang yang ia tidak pernah mendengar apapun dari orang tersebut” [103]

Secara istilah adalah:

ما رفعه التابعي إلى الرسول صلى الله عليه وسلم من قول أوفعل أوتقرير صغيرا كان التابعي أو كبيرا [104]

“Hadits yang dimarfu’kan oleh seorang tabi’iy kepada Rasul SAW., baik berupa sabda, perbuatan maupun taqrir, baik tabi’i itu kecil atau besar.”

Definisi yang lain adalah:

ما سقط من أخر إسناده من بعد التابعي [105]

“Hadits yang gugur nama sanad terakhir setelah tabi’in”.

Tabi’in tidak menyebutkan bahwa ia menerima hadits itu dari sahabat, melainkan mengatakannya, ia menerima dari Nabi SAW., padahal sahabat adalah orang yang pertama menerima hadits dari Nabi SAW. gambaran dari ucapan tabi’in tersebut baik tabi’in besar maupun tabi’in kecil adalah bahwa “Rasulullah SAW. berkata demikian atau Rasulullah mengerjakan begini.. atau dilakukan seorang sahabat mengerjakan di hadapan Rasulullah SAW. begini… ini adalah mursal menurut ulama hadits.[106] Definisi lain yang terkenal dikalangan para fuqaha’ dimasa Imam empat dan di dalam kalangan beberapa penulis ushul, yaitu: Segala hadits yang tidak disebut sanadnya dengan bersambung-sambung kepada Nabi SAW. baik terputus sanadnya itu sesudah tabi’i ataupun sebelumnya.” Maka sesuatu hadits yang tidak disebut nama shahabi oleh shahabi yang terang bahwa ia tidak mendengar hadits dari Nabi sendiri, disebut Mursal.[107]

Contoh: hadits yang dikeluarkan oleh Imam Muslim, yang berbunyi:

حدثنى محمد بن رافع ثنا حجين ثنا الليث عن عقيل عن ابن شهاب عن سعيد بن المسيب أن رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى عن المزابنة. [108]

“Bercerita kepadaku Muhammad ibn Rafi’ menceritakan kepada kami Dua Hujjah menceritakan kepada kami al-Laits dari ,Uqail dari ibn Syihab dari Said ibn Musayyab bahwasannya Rasulullah SAW. melarang Muzabanah[109]”.

Berdasarkan definisi diatas, diketahui adanya dua macam hadits mursal:

1. Mursal Shahaby

Termasuk juga kedalam hadits mursal ini, hadits-hadits yang diriwayatkan oleh seorang sahabat yang ia sendiri tidak langsung menerima dari Nabi SAW. karena mungkin ia masih kecil atau tidak pada majlis Nabi SAW. pada saat hadits diwurudkan, tetapi mereka meriwayatkan dari sahabat lain dari Nabi SAW. dengan tidak menyebutkan perawi-perawi yang mereka ambil riwayatnya. Oleh para ahli hadits , hadits yang diriwayatkan dengan cara ini disebut dengan mursal shahaby. Ahli hadits menilai bahwa mursal shahaby dihukumi maushul. Sebab kadang-kadang, sebagian sahabat meriwayatkan dari sebagian yang lain yang benar-benar menerimanya dari Nabi SAW. Dan persahabatan mereka dengan Nabi SAW cukup menjamin keadilannya, sehingga kemajhulan mereka tidak membawa pengaruh negatif[110] Dalam pada itu, mayoritas ulama berhujjah dengan hadits-hadits mursal sahabat. Mereka tidak menganggap hadits-hadits tersebut dla’if. Dengan demikian gugurnya sahabat lain dari sanad tidak berpengaruh apa-apa-sebagaimana hadits juga tidak menjadi dla’if kalau perawinya tidak diketahui keadaannya.[111]

Mahmud at-Thahhan dalam kitabnya mengatakan bahwa jumhur ulama memberikan kepastian bahwa hukum mursal shahaby adalah shahih masyhur yang dapat dijadikan sebagai hujjah.[112] As-Suyuthi berkata dalam At-Tadrib: Dalam shahih Bukhari dan Shahih Muslim terdapat banyak hadits mursal sahabat. Karena kebanyakan riwayatnya bersumber pada sahabat. Mereka semuanya dikenal adil. Riwayatnya dari selain mereka (selain sahabat) adalah langka. Kalaupun mereka meriwayatkan dari selain sahabat mereka tentu menjelaskannya. Justru kebanyakan hadits yang mereka riwayatkan dari tabi’in bukan hadits marfu’, melainkan dongeng-dongeng isra’iliyat atau kisah-kisah atau hadits-hadits mauquf.[113]. Sulit menghindari adanya mursal sahabat. Kebanyakan riwayat yang bersumber dari Ibnu Abbas adalah mursal, karena usianya masih sangat muda pada masa hidup Nabi SAW. Usianya tidak lebih dari 13 tahun ketika Nabi SAW. wafat.[114]

Hadits mursal yang disandarkan kepada para perawi yang dapat dipertanggung jawabkan akan menjadi kuat dan terbuka kebenarannya. Karena hadits mursal ini memiliki dua bentuk: bentuk kemursalan dan bentuk penyandaran (isnad). Apabila ada dua bentuk tadi dibandingi oleh hadits musnad lain, kedua bentuk tersebut tetap lebih unggul. Karena hadits mursal ini didukung oleh hadits yang sanadnya bersambung sampai ke puncak.[115]

2. Mursal Tabi’iy dibagi menjadi dua:

a. Mursal al-jali, yaitu tidak disebutkannya (gugur) nama sahabat tersebut dilakukan oleh tabi’in besar.

b. Mursal al-khafi, yaitu pengguguran nama sahabat dilakukan oleh tabi’in yang masih kecil. Hal ini terjadi karena hadits yang diriwayatkan oleh tabi’in tersebut meskipun ia hidup sezaman dengan shahaby, tetapi ia tidak pernah mendengar sebuah hadits-pun dari padanya.[116]

Ada juga sebagian ulama yang memberikan batasan bahwa hadits mursal adalah yang dimarfu’kan oleh tabi’i besar saja. Karena umumnya periwayatan tabi’i besar adalah dari sahabat. Sebagian ahli hadits tidak menilai hadits yang diriwayatkan oleh tabi’i kecil sebagai hadits mursal, tetapi Hadits munqathi’. Karena sebagian besar periwayatan mereka adalah dari tabi’in juga.[117]

Bagan Hadits Mursal

Mursal Khafi Mursal Shahaby Mursal Jali

قال التابعى الكبير : قال الصحابى الصغير:

قال التّابعى :

التابعى التابعى

تابع التابعين تابع التابعين تابع التابعين

تباع تابع التابعين اتباع تابع التابعين اتباع تابع التابعين

مخرج

مخرج

مخرج

2. Hukum Asal Hadits Mursal

Hukum hadits mursal adalah dimasukkan ke dalam hadits ضعيف مردود (lemah dan tertolak), karena tidak adanya satu syarat dari beberapa syarat hadits yang maqbul (diterima) yaitu, tidak adanya kesinambungan dalam sanad, lantaran ini jenis dan sifat-sifat perawi yang digugurkan itu tidak jelas, apakah ia seorang sahabat sehingga hadits yang diriwayatkannya dihukumi shahih, karena semua sahabat itu dihukumi adil, atau ia bukan seorang sahabat, melainkan seorang tabi’i yang belum terang ketsiqahannya. Karena itulah hadits mursal khafy dihukumi sebagai hadits dha’if. [118]

Adapun dalam hal kehujjahan hadits mursal ini ulama berbeda pendapat dalam menyikapinya.

a. صحيح يحتج به (shahih dan dapat dipakai hujjah). Yaitu: boleh berhujjah dengan hadits mursal secara mutlak. Ini merupakan pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad, menurut pendapat beliau yang popular dan sejumlah ulama lainnya.

Beliau beralasan menurut logika, bahwa rawi yang bersifat adil lagi perwira, tentu tidak mau menggugurkan rawi-rawi (guru), yang berada diantara dia dengan Nabi, sekiranya rawi yang digugurkan itu bukan orang yang adil pula. Dengan kata lain sebagai orang yang adil tentu enggan membuat penipuan dengan menyembunyikan atau menggugurkan orang yang tidak adil. Beliau juga beralasan kepada sabda Nabi yang memuji generasi tabi’in[119], dengan sabdanya:

خيركم قرنى ثم الذين يلونهم ثم االذين يلونهم (متفق عليه) [120]

“Sebagus-bagus kamu sekalian adalah generasiku, kemudian generasi sesudahnya (sahabat), dan kemudian generasi yang mengikutinya (tabi’iy).”

b. ضعيف مردود (Lemah dan tertolak). Yaitu: Tidak boleh berhujjah dengan hadits mursal secara mutlak.Ini adalah pendapat Jumhur Ulama, mereka memandang bahwa hadits mursal itu adalah dha’if, karenanya tidak dapat dibuat hujjah. Karena rawi yang digugurkan tersebut tidak diketahui identitasnya. Mungkin ia seorang tabi’i yang lemah atau tabi’i yang tsiqah, tetapi ia menerima dari tabi’i yang lemah. Jadi tidak jelas bahwa yang digugurkan itu apakah seorang sahabat yang telah berpredikat adil atau seorang tabi’i yang mendengar dari orang yang mengaku sahabat.[121]

c. Bisa dijadikan sebagai hujjah bila ada yang menguatkannya. Misalnya dari jalur lain ia diriwayatkan secara musnad ataupun mursal, atau diamalkan oleh sebagian sahabat ataupun oleh mayoritas ahli ilmu.[122]

Bila hadits shahih kedatangan suatu hadits mursal dari jalur lain secara musnad dengan perawi-perawi yang tidak sama dengan perawi-perawi yang tidak sama dengan perawi-perawi yang pertama, maka ia bisa dijadikan hujjah menurut mayoritas ulama dan ahli hadits. Karena yang musnad itu mampu menyingkap keshahihan yang mursal. Bahkan bila keduanya bertentangan dengan hadits lain yang shahih, maka keduanya tetap didahulukan bila tidak bisa dikompromikan. Ini dikarenakan keterbilangan jalurnya.[123]

Dari tiga macam pendapat tersebut timbullah beberapa pendapat yang dapat dipaparkan menjadi 10 macam pendapat: [124]

1. Hadits mursal dapat dipakai hujjah secara mutlak.

2. Tidak dapat dipakai hujjah secara mutlak..

3. Dapat dipakai hujjah, asal yang meng-irsal-kan ulama abad ketiga.

4. Dapat dipakai hujjah, bila yang meng-irsal-kan itu orang yang adil.

5. Dapat dipakai hujjah, bila yang meng-irsal-kan itu Sa’id ibn Musayyab.

6. Dapat dipakai hujjah, asal ada penguatnya.

7. Dapat dipakai hujjah, bila dalam bab itu tidak ada yang lain.

8. Ia lebih kuat daripada musnad.

9. Dapat dipakai hujjah, bila berupa amalan-amalan sunnat, sedangkan untuk amalan-amalan yang wajib maka tidak dapat dipakai hujjah.

10. Dapat dipakai hujjah, asal yang meng-irsal-kan itu sahabat.


[1] Ahmad Warson Munawir, Al-Munawir Kamus Arab Indonesia, (Yogyakarta: Unit Pengadaan buku-buku Ilmiah Keagamaan Pondok Pesantren al-Munawir, 1984),187.

[2] Munzier Suparta, Ilmu Hadits (Jakarta : Grafindo Persada, 2003), 1.

[3] Abu Daud, Sunan Abi Daud, (Beirut: Dar al-Fikr, 1990 M/1410 H), Jilid II, 179

[4] Mahmud At-thahan, Taisiru Mustholah Al-Hadits (Surabaya : Syirkah Bungkul Indah), 15.

[5] Suparta, Ilmu Hadits, 2

[6] Muhammad Mahfuzd Ibn Abdillah Al-Tirmisi, Manhaj Dzawi Al-Nazhar, (Jeddah: Al-Haramain, 1974), 8

[7] Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996), 2.

[8] At-thohan, Taisiru Mustholah Al-Hadits, 15

[9] M.Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Hadits, Ulumuh wa Mushthalahuh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989 M/1409 H), 26-27

[10] Ranuwijaya, Ilmu Hadits, 3

[11]YPP al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Dept.Agama RI, Pelita III, 1983), 80

[12] Ibid.,128

[13] Tidak setia; (tidak taat) kepada kekuasaan yang sah (Tuhan, negara, orang tua dsb); Melawan kekuasaan (perintah dsb)

[14]YPP al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 132.

[15] As-Suyuthi, al-Jami’ ash-Shagir (Beirut: Dar al-Fikr,tt, ),130

[16] Hadits Mu’adz ibn Jabal

[17] Musthafa as-Siba’i, As-Sunnah wa Makaanatuha fi at-Tasyri’ al-Islami (Kairo:Dar al-Qaumiyah, 1949), 75

[18] Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, (Beirut: Al-Maktab Al-Islamy,t.t.), juz I, 164

[19] Ibid., 194 dan 213.

[20] Ibid., juz VIII, 67

[21] Ibid., juz I, 378.

[22] Nasakh adalah: Raf’ul Hukmi as-syar’iyi bi daliili syar’iyyin mutaakhirin. “ Membatalkan suatu hukum dengan dalil yang datang kemudian”. Lihat, Ushul Fiqih 1, karya Chaerul Umam, DKK (Bandung: Pustaka Setia, 1998), 195

[23]Hukum Zhanny adalah: Kebenaran pengertian hukum tersebut adalah relatif atau tidak pasti karena masih dimungkinkan di lakukan takwil yang menghasilkan alternatif pengertian lain. Lihat Suhudi Isma’il, Hadits Nabi Menurut Pembela Pengingkar dan Pemalsunya, (Jakarta: Gema Insani Press,1995), 94

[24] Ranuwijaya, Ilmu Hadits, 25.

[25] YPP al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 408

[26] Hasbi Ash-shiddieqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits , (Jakarta: Bulan Bintang, Jakarta,1980), 176-188.

[27] Imam Muslim, Shahih Muslim, Hadits nomor 1.798 ini terdapat dalam kitab Al-Shiyam (Beirut: Dar Al-Fikr, t.t.), Jilid I, 481

[28] YPP al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 45.

[29] YPP al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 158

[30] Imam Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, Hadits nomor 135 Bab laa tuqbalu al-shalat bighairi thuhr, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1994), Jilid I , 38

[31] Ranuwijaya, Ilmu Hadits, 29.

[32] Ibid.

[33] Ibid.

[34] Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, Juz I Hadits nomor 631.

[35] YPP al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 16.

[36] Ranuwijaya, Ilmu Hadits, 31

[37] Muslim, Shahih Muslim, Jilid II, 105

[38] YPP al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 165.

[39] Ibn Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, juz II, 883.

[40] YPP. Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 116

[41] Suparta, Ilmu Hadits, 64

[42] Muslim, Shahih Muslim, Jilid I, 434

[43] Suparta, Ilmu Hadits, 65

[44] Munawwir, Al-Munawir Kamus Arab Indonesia, 1412.

[45] Suparta, Ilmu Hadits, 65

[46] As-Siba’i, As-Sunnah wa Makaanatuha fi at-Tasyri’ al-Islami, 169

[47] Ranuwijaya, Ilmu Hadits, 36

[48] Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, Jilid II, Juz III, 188

[49] YPP. Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 44.

[50] Suparta, Ilmu Hadits, 67.

[51] Munawwir, Al-Munawir Kamus Arab Indonesia, 138

[52] Al-Khathib, Ushul al-Hadits, 301

[53] At-Thahhan, Taisir Musthalah Al-Hadits, 19.

[54] Ranuwijaya, Ilmu Hadits, 125.

[55] At-Thahhan, Taisir Musthalah Al-Hadits, 20

[56] Muslim, Shahih Muslim, kitab Muqaddimah, No. 4

[57] Yang dimaksud dengan sepuluh sahabat adalah: Abu Bakar Al-Shiddiq, ‘Umar bin Khattab, ‘Usman bin ‘Auf , Sa’id bin Malik, Sa’id bin Zaid, dan ‘Ubaidah ibn Jarrah.)

[58]At-Thahhan, Taisir Musthalah Al-Hadits, 21.

[59] Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, Hadits nomor 6.341 dalam Kitab ad-Da’awat bab ke-23; Raf’I Aydi fi ad-Du’a, Jilid IV, Juz 7,198.

[60] Munawwir, Al-Munawir Kamus Arab Indonesia, 11.

[61] Hasbi As-Shiddiqi, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), jilid I, 32.

[62] Munawwir, Al-Munawir Kamus Arab Indonesia, 800.

[63] Al-Khathib, Ushul al-Hadits, 302.

[64] Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, Hadits nomor 877 dalam bab فضل غسل يوم الجمعة , Kitab al-Jum’at, Juz I, 238, dengan urutan sanad; di terima dari Abdullah ibn Yusuf, dari Malik ibn Nafi’, dari Abdullah ibn Umar.

[65] Ranuwijaya, Ilmu Hadits, 139

[66] Munawwir, Al-Munawir Kamus Arab Indonesia, 995.

[67] Ibnu Hajar Al-Asqalani, Nuhbah Al-Fikr, 32.

[68] Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, 8, dan Muslim, Shahih Muslim, jilid I, 49.

[69] Al-Khatib, Ushul al-Hadits, 360.

[70] Gharib Muthlaq adalah Penyendirian terjadi berkaitan dengan keadaan jumlah personalianya, yakni tidak ada orang lain yang meriwayatkan hadits tersebut, kecuali dirinya sendiri. Contoh: الولاء لحمة كلحمة النسب لا يباع ولا يوهب

“Kekerabatan dengan jalan memerdekakan, sama dengan kekerabatan dengan nasab, tidak boleh di jual dan di hibbahkan”. Hadits ini diterima dari Nabi oleh Ibn Umar dan dari Ibn Umar hanya Abdullah ibn Dinar saja yang meriwayatkan. Lihat, Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadits, hlm.147.

[71] Gharib Nisbi adalah: Penyendirian itu bukan pada perawi atau sanadnya, melainkan mengenai sifat atau keadaan tertentu, yang berbeda dengan perawi lainnya. Lihat, Utang Ranuwijaya, Ibid, 148.

[72] Gharib pada sanad dan matan secara bersama-sama adalah: Hadits gharib yang hanya diriwayatkan oleh satu silsilah sanad, dengan satu matan haditsnya.Lihat, Utang Ranuwijaya, Ibid,149.

[73] Hadits yang telah popular dan diriwayatkan oleh banyak sahabat tetapi ada seorang rawi yang meriwayatkannya dari salah seorang sahabat yang lain yang tidak popular. Lihat, Utang Ranuwijaya, Ibid, 150.

[74] Pius A Partanto, M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola), 384

[75] Ilmu Dharuri adalah: Ilmu yang mudah di mengerti (artinya) ilmu yang tidak terjadi dari hasil pemikiran dan penggunaan dalil. Seperti ilmu (pengetahuan) yang terjadi dengan melalui salah satu panca indra, yaitu pendengaran, penglihatan, penciuman, perasa lidah dan perasa kulit. Atau (ilmu yang terjadi karena) berita mutawatir (berita yang luas tersiar, yang tidak mungkin bohong. Lihat, H.M Bashori Alwi Ushul Fiqh Imam Haramain, (Malang: Pesantren Ilmu al-Qur’an),4

[76] Al-Khathib, Ushul al-Hadits, 303.

[77] Suparta, Ilmu Hadits, 124

[78] Munawwir, Al-Munawir Kamus Arab Indonesia, 522.

[79] Al-Khathib, Ushul al-Hadits, 303.

[80] Pembicaraan tentang hadits maudhu’, ada sebagian ulama yang menganggap hadits maudhu’ sebagai sebuah hadits dan ada yang tidak. Yang menganggap hadits pun ada yang memasukkan kedalam jenis hadits dha’if. Sebab hadits dha’if itu ada yang bisa diamalkan meskipun sebatas hadits fadhail al-a’mal-nya, sementara hadits maudhu’ para ulama ahli hadits sepakat melarang pengamalannya.

[81] Pembagian ini kemudian juga mempengaruhi pada kualitas hadits-hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, bahwasanya hadits-hadits dha’if yang diriwayatkan Imam Ahmad mempunyai kualitas hasan dalam pandangan para ulama masa setelahnya.)

[82] Suparta, Ilmu Hadits, 125.

[83] Munawwir, Al-Munawir Kamus Arab Indonesia, 817.

[84] W.J.S. Poerwodarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, yang diolah kembali oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, (Jakarta: Balai Pustaka, 1985), 849

[85] Al-Khathib, Ushul al-Hadits, 305

[86] Suparta, Ilmu Hadits, 130.

[87] Al-‘Asqalani, syarh Nukhbah al-Fikr, 35

[88] Dhabit fi al-shadr, ialah terpeliharanya periwayatan dalam ingatan, sejak ia menerima hadits sampai meriwayatkannya kepada orang lain.

[89] Dhabit fi al-kitab, ialah terpeliharanya kebenaran suatu periwayatan melalui tulisan. Lihat, Suparta, Ilmu Hadits, 132.

[90] Lihat dalam Shahih Al-Bukhari, dalam kitab Azan.

[91]At-Turmudzi, Sunan at-Turmudzi wa huwa al-Jami’ as-Shahih, (Beirut: Dar al-Fikr, 1400 H/ 1980 M), Juz I, 6. Hadits ini juga banyak diriwayatkan oleh banyak Imam hadits seperti an-Nasa’i (hadits no.7), dan shahih Muslim (hadits no. 370, dalam kitab Thaharah)

[92] Suprta, Ilmu Hadits, 69.

[93] At-Turmudzi, Sunan at-Turmudzi, Juz I, 76.

[94] M.’Ajjaj Al-Khatib, Ushul Al-Hadits pokok-pokok ilmu Hadits , (Jakarta: Gaya Media Pratama,1998), 299.

[95] Munawwir, Al-Munawir Kamus Arab Indonesia, 880.

[96] Al-Khathib, Ushul Al-Hadits pokok-pokok ilmu Hadits, 304.

[97] Suparta, Ilmu Hadits, 151.

[98] Ibid.

[99] Fatchur Rahman, Ikhtishar Mushthalahul Hadits, (Bandung: Al-Ma’arif), 226.

[100] Ibid.

[101] Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), 495.

[102]At-Thahhan, Taisir Musthalah Al-Hadits, 71

[103] Moh. Mahfud bin abdullah at-Turmusyi Manhaj Zdawin Nadhar, (Sangkaporah Jeddah), 49, dan lihat Ar-Risalah Imam As-Syafi’i, 141.

[104] Al-Khathib, Ushul al-Hadits, 304.

[105] At-thahhan, Taisir Musthalah Al-Hadits, 7

[106] Fatchur Rahman, Ikhtishar Mushthalahul Hadits, 208

[107] Hasbi Ash-Shiddieqie, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999), 184.

[108] Muslim, Shahih Muslim, Kitab al-Buyu’, Juz III, 117.

[109] Muzabanah adalah: Bertengkar-tengkaran; berebut-rebutan; menjual kurma dipohon dengan kurma yang sudah kering dengan sukatan; menjual anggur basah dengan anggur kering dengan sukatan; menjual sesuatu yang tidak diketahui beratnya atau sukatannya dengan sesuatu yang maklum timbangannya atau sukatannya; menjual sesuatu yang tidak diketahui ukurannya dengan sesuatu yang tidak diketahui ukurannya.(Lihat Tarjamah Bulughul Maram Ibn Hajar ‘Al-Asqalani oleh A. Hasan, jilid I, (Bandung: C.V. Diponegoro,1989), 396 dan Hadits dikeluarkan oleh Imam muslim lihat Muslim, Shahih Muslim, Kitab al-Buyu’)

[110] Lihat Tadrib ar-Rawi, 126

[111] Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu Hadits , (Jakarta: Pustaka Firdaus,1997), 150.

[112] At-Thahhan, Taisir Musthalah Al-Hadits, 74.

[113] at-Tadrib ar-Rawi, 71.

[114] At-Taudlih al-Afkar I, 291. Ada sebagian ulama yang gampangan. Mereka menerima hadits -hadits mursal para imam yang bisa dipercaya dan dikenal cermat penyelidikannya. (Lihat At-Taudlih al-Afkar I, 287.

[115] At-Taudlih al-Afkar I, 289.

[116] Suparta, Ilmu Hadits, 155.

[117] Al-Khathib, Ushul Al-Hadits pokok-pokok ilmu Hadits , 304.

[118] Rahman, Ikhtishar Mushthalahul Hadits, 210

[119] Rahman, Ikhtishar Mushthalahul Hadits, 211.

[120] Bukhari, Shahih Bukhari, Kitab Iman wa an-Nudzur, No.6201.

[121] Rahman, Ikhtishar Mushthalahul Hadits, 211.

[122] Al-Khathib, Ushul Al-Hadits pokok-pokok ilmu Hadits, 305

[123] Lihat Tadrib ar-Rawiy, 120.

[124] Rahman, Ikhtishar Mushthalahul Hadits, 214

Tidak ada komentar:

Posting Komentar